"Yah... hujan"
"Kenapa sih harus hujan? Kan jadi nggak bisa pulang."
"Lupa bawa payung nih, gimana mau pulang kalo hujan gini.'
Itu beberapa keluhan yang aku dengar dari teman-teman kelasku.Bisa saja aku segera pulang dibawah guyuran hujan ini dengan payungku. Karena aku selalu siap sedia payung lipat yang aku bawa dalam tasku. tapi waktu sudah menunjukkan pukul 16.00.
"Lebih baik aku shalat Ashar dulu sambil menunggu hujan reda" Kataku dalam hati.
Tak lupa aku mengajak Alfi dan Rahmi, 2 teman dekatku sejak kelas 10. Sudah menjadi kebiasaanku untuk pulang bersama dengan mereka. Aku ingat kami dipertemukan ketika kami sama-sama mengikuti Speech Contest yang diadakan sekolah kami saat itu. Dan entah kenapa hingga saat ini kami bertiga selalu dekat. Anehnya tak ada yang sekelas diantara kami bertiga.
"Ayo Nadya, kita ke mushala." ajak Rahmi.
"Iya nih, sambil nunggu hujan reda lebih baik kita shalat Ashar dulu." timpal Alfi.
Kami pergi ke mushala yang tak jauh dari dari ruang BP. terlihat beberapa anak lain sedang mengambil wudhu. Kamipun akhirnya salat berjamaah di Imami oleh Irsyad, teman sekelasku.
Hujan sudah mulai reda. Kami bertiga beranjak pulang.
"Sayang ya Nadya, Rahmi, kita tak bisa menikmati awan dengan cahaya matahari senja." Kata Alfi.
"Hujan baru saja reda, jadi nggak mungki matahari akan muncul secepat itu menggantikan suasana sesudah hujan ini." timpalku.
"Padahal aku kangen awan yang biasanya melintas di sana." tunjuk Rahmi pada langit.
"Aku ingin bermimpi dan berkhayal dengan awan-awan itu." tambahnya lagi.
Ketika kami bertiga, dan cuaca sedang cerah. Kami selalu bertukar mimpi sambil menceritakan awan yang melintas diatas kepala kami. Aku menganggap setiap awan yang melintas itu adalah benua Asia sedangkan Alfi menganggap awan adalah benua Amerika dan Rahmi menganggapnya sebagai benua Afrika. Impian kami berbeda-beda. Kami ingin menggapai impian di benua yang kami impikan. Namun untuk hari ini kami tak bisa menikmatinya. Yang terlihat hanya langit putih dan awan yang kelabu.
Perbedaan membuat kami dekat. Kebanyakan orang bisa bersama karena adanya kesamaan, namun karena perbendaanlah yang membuat kami bias bersama. Aku bisa bertukar pikiran dengan mereka. Hal itu yang paling aku sukai. Keterbukaanlah yang membuat kami dekat. Setiap masalah yang kami alami selalu dibicarakan bersama dan dicari pemecahnya. Aku menyayangi mereka.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.45. Tak terasa perbincangan kami di depan mushala harus segera diselesaikan. Aku harus segera pulang. Aku tak ingin melihat Nenek dan adikku cemas.
"Sampai jumpa Nadya. Assalamualaikum." ucap Alfi dan Rahmi padaku.
"Waalaikumsalam. Sampai jumpa besok" jawabku diiringin dengan senyuman.
Arah rumahku dengan rumah Alfi dan Rahmi berbeda. Arah rumahku ke arah utara, sedangkan rumah Alfi dan Rahmi ke arah selatan.
Pukul 17.00 bus menuju selatan telah terlihat. Alfi dan Rahmi melambai ke arahku. Tanda mereka aka pergi dari penglihatanku dan segera menaiki bus. Aku sendirian. Hanya terlihat beberapa anak lelaki yang tengah berlari, menjalani olahraga sorenya. Sesekali aku melihat jam tangan yang aku kenakan. Waktu sudah sangat sore dan bus upun belum juga datang.
"Kemana bus-nya? Kenapa belum lewat juga?" pekikku dalam hati.
Hari sudah mulai gelap. Dan aku masih ada dilingkungan sekolah dan jalanan pun sudah mulai sepi.
"10 menit lagi aku akan menunggu. Jika bus belum juga datang, aku harus ambil tindakan.." kataku.
Aku mencoba bersabar. Aku yakin orang yang bersabar akan diberi kemudahan oleh Allah. Seperti pepatah Arab yang pernah diajarkan oleh guruku saat di surau, 'Man Shabara Zhafira' yang artinya siapa yang bersabar pasti akan beruntung. Pepatah yang masih aku ingat selalu. Karena Allah pasti akan melindungi orang-orang yang besabar.
Langit kian gelap. Aku tak bisa hanya diam menunggu saja. Aku harus mengambil tindakan. Aku mengambil pilihan untuk berjalan kaki sambil menunggu bus lewat. Jarak menuju rumahku lumayan jauh, mencapai 5 KM. Tapi apa boleh buat, aku harus melakukan suatu usaha agar bisa cepat pulang ke rumah.
Aku iri melihat orang lain yang bisa diantar jemput oleh orang tuanya. Apalagi jika sudah terlewat sore, mereka pasti bersiap untuk menjemput anak mereka di sekolah. Sedangkan aku, ayah dan ibuku saja sudah tidak berada disisiku lagi. Ayahku sudah tiada akibat kecelakaan saat aku SMP, dan ibuku sekarang berada di Arab menjadi TKW. Aku iri pada mereka yang bisa berkumpul lengkap dengan kedua orang tua mereka. pasti mereka mendapat kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya.
"Aku rindu padamu ayah. Aku juga rindu padamu ibu." kataku dalam hati.
"Aku kangen..." tambahku.
Langit kian bertambah gelap. Lampu-lampu yang menghiasi jalan raya ini sudah banyak yang menyala. Aku mencoba menoleh ke belakang, siapa tau ada bus yang mendekat. Tapi sayang tak terlihat apa-apa. aku harus mempercepat langkahku. Karena jarak yang harus aku tempuh masih jauh.
"Kenapa aku harus pindah ke daerah ini?" tanyaku
Banyak sekali pertanyaan yang menghampiri otakku. Aku bingung. Ingin rasanya aku berteriak. Tapi tak terasa air mataku sudah mengalir membasahi pipiku.
"Ayo jangan cengeng Nadya, kamu bisa, kamu harus kuat." hiburku.
Semenjak ayah tiada, ibuku menitipkan aku dan adikku Zahra pada nenekku. Kadang aku bingung, kenapa ibuku tak menitipkanku pada kerabat kami yang berada di Tasik. Biar aku tak usah repot-repot pindah sekolah. Tapi ibuku tetap membawaku ke sebuah kota kecil ini. Tempat Nenekku tinggal. Yang masih menjanggal dipikiranku, kenapa disini sangat jarang sekali angkutan umum jika sudah agak sore. Padahal banyak anak sekolah yang biasa pulang sore hari. Jika saja ayahku masih ada, aku ingin dijemput oleh ayahku ketika aku pulang kesorean. Tapi hal itu tidak mungkin.
Langkahku sudah mulai gontai, kakiku lemas. Ingin aku berhenti, tapi aku belum sampai di rumah. Tapi aku bersyukur bahwa tadi aku menyempatkan diri untuk shalat Ashar terlebih dahulu. Bisa dibayangkan jika tadi aku menembus hujan, belum tentu aku masih bisa melaksanakan kewajibanku itu. Aku tak ingin menjadi seorang hamba yang berdosa karena lalai dalam menjalankan kewajiban. Selagi aku mampu, maka aku wajib mengerjakan itu semua.
Setelah lebih dari 1 KM berjalan, aku berdiam diri sebentar. Aku sangat haus dan lapar. Aku mencoba mengecek isi perbekalanku. Kotak bekalku sudah kosong, sudah ku habiskan tadi siang. Namun aku bersyukur, ternyata botol minumku masih terlihat sisa air. Masih bisa aku minum walau hanya beberapa teguk. Aku mencoba menoleh ke belakang lagi, siapa tau ada bus mendekat. Dan ternyata benar. Bus umum berwarna Hijau tua itu mendekat.
"Alhamdulillah... ternyata Allah masih menyayangiku. Berkah menghampiriku." ucapku.
Aku menunggu bus itu mendekat, dan memberhentikannya. Aku naik bus tersebut. Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar ditelinggaku. Tapi ada yang aneh, lampu-lampu diluar sana menjadi gelap, tak seperti biasanya yang menghiasi warna jalanan.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi? Bagaimana aku menuju rumahku?" tanyaku dalam hati.
Akhirnya aku harus turun. Aku harus berjalan lagi beberapa ratus meter dari ujung jalan raya ini menuju rumahku. Jalanan sudah sepi, dan suasana pun menjadi gelap dan mencekam. Hatiku tiba-tiba merasa tidak nyaman. Aku harus waspada. Dan terus meminta perlindungan pada yang Maha Kuasa.
Langit sudah gelap, namun belum ada lampu rumah yang menyala. Sepertinya aliran listrik belum normal kembali. Terlihat dibeberapa rumah sedang menyalakan lilin untuk penerangan. Keluarga mereka berkumpul semua. Ada ayah dan ibunya. Aku ingin seperti itu juga. Aku ingin masa-masa berkumpul dengan ayah, ibu dan adikku bisa aku alami lagi. Aku rindu pada mereka. Air mataku menetes kembali.
"Kenapa aku ini? kenapa aku tak bisa menahan air mata ini? Ya Allah... tabahkanlah hamba-Mu ini."
"Aku harus berusaha kuat menghadapi semua ini." tambahku.
Aku belari sekencang-kencangnya menuju rumah. Suasana yang gelap mebuatku harus selalu berhati-hati. Aku berusaha menghapus air mataku dengan menyekanya dengan lengan seragamku. Aku tak ingin nenek melihatku seperti ini.
"Assalamualaikum, aku pulang nek.." ucapku.
"Waalaikumsalam. Dari mana saja Nadya? kenapa sesore ini kamu pulang? Nenek dan Zahra khawatir padamu." sahut nenek.
"Tadi susah kendaraan nek, jadi agak lama. Dan ditambah tadi hujannya baru reda agak sore." Jawabku.
Tiba-tiba aku berlari menghampiri nenekku, dan masuk dalam pelukannya.
"Kenapa sayang? kenapa tiba-tiba memeluk nenek seperti ini?" tanya nenek.
"Nek... aku kangen ayah dan ibu. Aku ingin berkumpul. Kapan ibu akan pulang nek?"
"Nenek juga kangen pada ibumu Nadya. Nenek tidak tau kapan ibumu akan pulang. Ibumu tidak memberi tau ketika menelpon ke sini."
"Aku iri nek melihat orang-orang disana bisa berkumpul lengkap dengan orang tuanya. Aku juga ingin seperti mereka. Aku rindu ayah dan ibu nek. Aku juga ingin mengalami rasanya dijemput dari sekolah ketika pulang kesorean. Dan Ibu yang selalu menjaga anaknya. Aku juga ingin orang tuaku khawatir ketika anaknya belum sampai dirumah. Ingin rasanya orangtuaku mengkhawatirkanku. Aku juga ingin nek. Aku iri pada teman-temanku yang bisa merasakan itu semua."
"Nenek mengerti perasaan kamu sayang. Tapi apa yang harus nenek lakukan?"
"Sudah Nadya, jangan nangis lagi ya."pintanya.
Aku melepaskan pelukan terhapad nenekku, dan menyegerakan shalat maghrib. Aku berdo'a agar ibuku tetap diberi perlindungan, dan ayahku bisa tenang di sisi-Nya. Aku bersyukur masih mempunyai nenek yang merawatku kini dan sayang padaku. Juga kedua teman dekatku yang selalu membuatku ceria dan bisa menjadi tempat berbagi.
"Terima kasih Ya Allah, Engkau masih memberikan orang-orang yang menyanyangiku." ucapku dalam do'a sambil bersujud.”
Senja kali ini kulewati dengan penuh keinginan yang hanya bisa terwujud dengan imajinasiku. Imajinasi yang terlampau tinggi. Senja yang seharusnya orange hangat, malah menjadi kelabu hampa.
0 komentar:
Posting Komentar
sempatkan untuk berapresiasi ya....